19 Juni 2014

Disabilitas Tak Halangi M Zulfikar Rakhmat Raih Cum Laude di Kampus Qatar

Zulfikar Rakhmat
Jakarta - Disabilitas yang dialami Muhammad Zulfikar Rakhmat (22) sejak lahir membuatnya terkadang menjadi sasaran bullying teman-teman sekolahnya. Fikar kini menyandang gelar Bachelor of Art (BA) dari jurusan hubungan internasional Universitas Qatar dan lulus cum laude!

Disabilitas yang disandangnya adalah gangguan motorik pada kedua tangannya yang membuat tangannya selalu bergetar sehingga susah memegang benda atau menulis. Dokter yang menangani Fikar bahkan tak bisa menyebutkan istilah medis atas gangguan motorik yang dialaminya.

"Seperti parkinson (tangan bergetar), tapi bukan parkinson," tutur Fikar yang lahir di Pati, Jawa Tengah, 10 April 1992 ini.

Selama bersekolah di Indonesia, berbagai macam bentuk bullying diterimanya. Mirisnya, Fikar justru mendapat bullying dari masyarakat di lingkungan sekitar rumahnya di Semarang daripada di sekolah.

"Di sekolah nggak semua murid seperti itu (melakukan bullying), ada yang baik dan tidak bullying. Kalau di SD diketawain ya biasa saja. Yang paling pahit itu orang nggak percaya saya bisa dapat nilai yang bagus," tutur Fikar yang menamatkan SD-SMP Al Azhar Semarang ini.

Di SD-SMP, nilainya biasa-biasa saja. Perubahan lantas dialami Fikar saat dia mengikuti ayahnya yang seorang dokter pindah tugas ke Qatar sejak tahun 2007, tepat setelah Fikar lulus SMP.

Saat di Qatar, Fikar sempat ditolak beberapa SMA saat mendaftar karena khawatir tidak mampu menangani kondisi khusus yang dialami Fikar.

Waktu saya pindah, hampir mendatangi setiap sekolah internasional, yang menerima saya cuma 1 sekolah itu. Di sekolah itu saya boleh pakai komputer dan disediakan penulis bila diperlukan," tuturnya.

Pada masa-masa SMA inilah dia mengalami kemajuan akademis yang pesat. Hal ini menurutnya karena sekolah di Qatar menerapkan spesialisasi kepada minat siswa.

"Kalau pendidikan di Indonesia kadang kurang fokus. Misalnya, saya sukanya ilmu sosial, disuruh belajar matematika. Ketika saya pindah ke Qatar itu fokus, kalau SMA ilmu sosial nggak ada belajar matematika," kata Fikar yang hobinya mengoprek software komputer ini.

Kala itu diingatnya nasihat sang kakek yang memacu semangat belajarnya. Apa gerangan nasihatnya?

"Dulu kakek saya pernah bilang kalau mau jadi orang pintar belajarlah di 3 tempat, Timur Tengah, Eropa dan Amerika," kisahnya yang membuatnya mendaftar di Universitas Qatar jurusan hubungan internasional.

Fikar mendapatkan beasiswa penuh selama menjalani pendidikan di Universitas Qatar. Kampusnya sangat memfasilitasi kondisi Fikar, tak ada lagi kisah penolakan seperti saat mencari sekolah SMA.

Kalau di universitas sudah langsung diterima," imbuh dia.

Teman-teman kampusnya sangat membantu. Di Qatar, nyaris setiap orang memiliki mobil sehingga transportasi publik tidak terlalu eksis di salah satu negara penghasil minyak itu. Lantas bagaimana Fikar pulang-pergi ke kampusnya?

"Teman-teman saya di sini malah suka mengantar jemput saya. Kalau nggak bisa nyetir seperti saya ini memang harus tergantung orang lain karena transportasi umum masih jarang karena setiap orang punya mobil. Juga karena faktor cuaca, kalau keluar menunggu bus atau taksi, cuacanya panas. Tapi mal di sini sudah buat jalan untuk kursi roda," tuturnya.

Kendati demikian, Fikar juga masih mengalami diskriminasi. Semisal saat Fikar keluar sendiri untuk ke rumah makan atau mencegat taksi.

"Kalau keluar suka dilihatin kok ini tangannya gerak-gerak sendiri kenapa gitu. Kalau pergi ke restoran kadang para pelayan tidak mau melayani karena takut. Kalau mencegat taksi, suka nggak ada yang mau berhenti," jelas Fikar yang mentalnya sudah terlatih menghadapi perlakuan berbeda itu. Nasihat-nasihat dari orang tua dan Alquran diakuinya sangat membantu menghadapi perlakuan berbeda itu.

Namun keterbatasannya itu tak menghalangi dia menyelesaikan studinya dalam masa 3 tahun dari jatah 4 tahun. Judul skripsi 'China's foreign policy towards the Israel-Palestinian conflict (Politik luar negeri China terhadap konflik Israel-Palestina) berhasil membawanya mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,93 pada Januari 2014 lalu.

Fotonya saat wisuda dan bertemu dengan Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani dipasang di laman Facebook Universitas Qatar. Caption di bawah foto itu menyebutkan bahwa dirinya yang terlahir sebagai penyandang disabilitas tak menghalanginya meraih mimpi.

"I was born with a disability. I cannot use my hands to write. When I was a kid, my father used to tell me "Don't ever let your disability win." And today I proved that no matter what conditions you are in, you can still achieve your dreams. In spite of my disability, and with Allah's help, I graduated with excellence and was able to meet with the Emir of Qatar," demikian caption foto di laman Facebook Universitas Qatar.

Kini, Fikar sudah berencana untuk meneruskan studi mengambil master dalam bidang ilmu politik. Dia juga menjadi penulis freelance, menuangkan analisa politik luar negeri pada beberapa situs di Qatar.

"September ini ke Inggris ambil S2, sudah diterima di Universitas Manchester jurusan politik internasional, sekarang masih nyari beasiswa. Kalau bisa sampai S3 ke Amerika, Insya Allah," jelas pria yang bercita-cita menjadi akademisi dan periset itu.

Dia juga ingin menyampaikan pesan kepada orang yang suka memandang sebelah mata kepada penyandang disabilitas.

Saat Fikar berada di kantor pusat PBB di Jenewa, Swiss
"Pesan saya, jangan melihat orang dari kondisi fisiknya, lihatlah kemampuannya. Soalnya saya ketemu penyandang disabilitas dari banyak negara yang berhadapan dengan institusi akademis, tidak masalah. Sebenarnya institusi akademis itu memberikan ilmu tidak pandang bulu, sebagai penyandang disabilitas ingin diterima dan diperlakukan seperti orang lain," tutur Fikar yang menjadi pemilih pemula pada Pilpres 2014 ini dan sudah mantap menentukan pilihannya.