11 Agustus 2015

Ahmad Faury Dosen Difabel

Ahmad Faury 
Ahmad Faury lahir di Dusun I Desa Pematang Guntung, Teluk Mengkudu, Serdang Bedagai, Sumatera Utara pada 11 Oktober 1983. Dia bungsu dari 7 bersaudara buah cinta pasangan Satrak (alm) dan istrinya, Ismaini (almh). Hanya, enam saudaranya meninggal sebelum dewasa. 

Sejak dilahirkan, kondisi fisik Ahmad Faury jauh dari sempurna. Kedua lengannya tanpa tangan dan jari. Kedua kakinya juga buntung sebatas betis. Fisiknya yang tidak sempurna tidak lantas membuat Ahmad Faury terus berkecil hati. 

"Saya bersyukur saja. Semakin saya berinteraksi dengan orang, mudah-mudahan orang lain semakin bersyuku".


Rasa syukur Ahmad Faury berbuah manis. Dia mampu mengeyam pendidikan tinggi hingga ke jenjang S3. Padahal semasa hidup ayahnya hanya nelayan pencari kerang dan ibunya penganyam atap.

Si kecil Ahmad Faury memulai pendidikan formal di SD Negeri 2 Pematang Guntung. Layaknya siswa normal, dia lancar menulis. Meski tak punya jari dan telapak tangan, alat tulis dia pegang dengan kedua ujung lengannya.

Lulus dari SD, Ahmad Faury melanjutkan sekolah ke tingkat tsanawiyah dan aliyah di Pesantren Darul Mukhlisin, Sei Rampah, Serdang Bedagai. Tak berhenti sampai di sana, Ahmad Faury melanjutkan studi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara (Sumut) di Kota Medan.

Pertama di Medan agak sulit karena semua jalan beraspal, kaki jadi sakit kalau saya berjalan. Untuk mengurangi sakit, saya pasang dengan tiga lapis kaus kaki, kata Ahmad Faury sambil menunjukkan bagian kakinya yang dibungkus kaus kaki hitam.

Meski kondisi fisiknya tidak sempurna dan terlahir sebagai anak nelayan miskin, Ahmad Faury tetap belajar dengan semangat. Dia beruntung karena mendapat sejumlah beasiswa dan banyak dibantu orang yang bersimpati kepadanya.

Perjuangan Ahmad Faury terbayar dengan kelulusannya pada 2006. Dia meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,51. Waktu diwisuda sedih juga, karena ketika itu ayah saya sudah tiada. Beliau meninggal saat saya kuliah, ucapnya.

Menyadari ketidaksempurnaan fisiknya, Ahmad Faury mantap ingin menjadi akademisi. Karena itu dia nekat melanjutkan studinya pada program Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Setelah tahun pertama menimba ilmu di UGM, Ahmad Faury kembali mendapat berduka. Ibunya Ismaini berpulang. Alhamdulillah, saya yang menjadi imam saat salat jenazah ibu saya. Begitu juga waktu ayah saya meninggal, ucapnya.

Setelah sempat mengambil cuti pascameninggalnya sang ibu, Ahmad Faury meneruskan kuliahnya di UGM . Dia lulus pada 2010 dan berhak menyandang gelar Lex Legum Master (LL.M.).


Dari UGM, Ahmad Faury kembali ke IAIN Sumut sebagai dosen. Dia mengajar Hukum Pidana di sana sejak September 2010. Pemuda ini juga kerap diundang sebagai motivator.

Ahmad Faury tetap tidak berhenti menimba ilmu. Di tengah kesibukannya sebagai dosen, dia kini mengikuti program doktor di IAIN Sumut.

Sempat putus asa

Di masa pendidikannya, Ahmad Faury bukannya tidak pernah tertekan dan kecewa. Dia bahkan sempat menuding Allah tak adil.

Bila teringat kejadian itu, Ahmad Faury mengaku merasa sangat bersalah. "Kalau teringat, saya langsung mohon ampun. Bayangkan, saya sempat menuding Allah tak adil," ujarnya.

Kekecewaan Ahmad Faury muncul saat belajar di Pesantren Darul Mukhlisin, Sei Rampah, Serdang Bedagai. Dia merasa tertekan dengan keadaan fisiknya saat melihat teman-temannya bermain sepak bola dan aktif pada kegiatan pramuka.

"Waktu itu saya langsung masuk ke masjid di pesantren. Saya bicara sendiri dan bilang 'Allah tidak adil', ceritanya. Tapi saya mendadak mengantuk dan akhirnya tertidur di sana. Begitu terbangun, saya seperti terlahir kembali. Semangat berkobar-kobar dan saya jadi sangat yakin bisa menghadapi hidup seperti orang lain. Rasanya tak ada yang kurang pada diri saya," katanya.

Benar saja, saat berkomunikasi Ahmad Faury memang mengesankan dirinya sangat percaya diri. Kecuali soal sistem negara yang belum berpihak kepada kaum difabel, tidak sekalipun dia berkeluh kesah mengenai kekurangan fisiknya. Dia bahkan terlihat sangat lincah dan bersemangat saat menunjukkan cara menaiki sepeda motor roda tiga miliknya.

Teman-temannya pun menilai Ahmad Faury sebagai sosok yang percaya diri. Orangnya pede. Dia enggak mau dikasihani. Waktu kami kuliah dulu mana mau dia dibantu naik angkot atau naik ke boncengan sepeda motor," kata Ismail Haska, seorang teman kuliahnya di IAIN Sumut.

Ahmad Faury telah membuktikan ketidaksempurnaan fisik bukanlah penghalang mengarungi kehidupan. Baginya, semua itu hanya cobaan.

Dia bahkan menilai cobaan itu sebagai bentuk perhatian Allah SWT. Kalau kita diberi cobaan berarti Dia memperhatikan kita. Cobaan itu diberikan karena kita mampu, ucapnya.

Dari cobaan yang dialaminya bersama keluarga, Ahmad Faury pun mencoba membuat kesimpulan. Allah itu nakal, tapi tidak kejam, ucapnya sambil tertawa.

Sumber : merdeka.com